MASYARAKAT MADANI DI INDONESIA
Kemungkinan
akan adanya kekuatan civil sebagai bagian dari komonitas bangsa ini akan
mengantarkan pada sebuah wacana yang saat ini sedang berkembang yakni
masyarakat madani. Marupakan wacana yang telah mengalami proses yang panjang.
Ia muncul bersamaan dengan proses modernisasi, terutama pada saat terjadinya
masa transformasi dari masyarakat feodal manuju masyarakat barat modern yang
lebih terkenal lagi dengan civil society.
Dalam
mendefinisikan tema masyarakat madani sangat bergantung pada kondisi social
cultural suatu bangsa, kareana bagai mana pun konsep masyarakat madani
merupakan bangunan tema terakhir dari sejarah bangsa Eropa Barat.Sebagai titik
tolak, disisi dikemukakan beberapa definisi masyarakat madani:
Pertama;
Definisi yang dikemukakan oleh Zbigniew Rew dangan latar belakang kajiannya
pada kawasan Eropa Timur dan Uni Sovyet. Ia mengatakan bahwa yang di maksud
masyarakat madani merupakan suatu yang berkembang dari sejarah, yang mengandalkan
ruang dimana individu dan perkumpulan tempat mereka bergabung bersaing satu
sama lain guna mencapai nilai-nilai yang mereka yakini. Maka yang dimaksud
dengan masyarakat madani adalah sebuah ruang yang bebas dari pengaruh keluarga
dan kekuasaan Negara.
Kedua; oleh Han-Sung-Joo ia mengatakan bahwa masyarakat madani merupakan sebuah kerangka hukum yang melindungi dan menjamin hak-hak dasar individu. Perkumpulan suka rela yang terbatas dari Negara suatu ruang publik yang mampu mengartikulasi isu-isu politik.
Kedua; oleh Han-Sung-Joo ia mengatakan bahwa masyarakat madani merupakan sebuah kerangka hukum yang melindungi dan menjamin hak-hak dasar individu. Perkumpulan suka rela yang terbatas dari Negara suatu ruang publik yang mampu mengartikulasi isu-isu politik.
Gerakan
warga Negara yang mampu mengendalikan diri dan indenpenden, yang secara
bersama-sama mengakui norma-norma dan budaya yang menjadi indentitas dan
solidaritas yang terbentuk pada akhirnya akan terdapat kelompok inti dalam
civil society.Ketiga; oleh Kim Sun Hyuk ia mengatakan bahwa yang dimaksud
dengan masyarakat madani adalah suatu satuan yang terdiri dari
kelompok-kelompok yang secara mandiri menghimpun dirinya dan gerakan-gerakan
dalam msyarakat yang secara relative. Secara global dari ketiga batasan di atas
dapat ditarik benang emas, bahwa yang dimaksud dengan masyrakat madani adalah
sebuah kelompok atau tatanan masyarakat yang berdiri secara mandiri dihadapan
penguasa dan Negara, yang memiliki ruang publik dalam mengemukakan pendapat,
adanya lembaga-lembaga yang mandiri yang dapat mengeluarkan aspirasi dan
kepentingan publik.
Menurut
Aristoteles (384-322) masyarakat madani di pahami sebagai sistem kenegaraan
dengan menggunakan istilah kolonia politik ( sebuah komunitas politik tempat
warga dapat terlibat dalam berbagai percaturan ekonomi politik dan pengambilan
keputusan). Konsepsi Aristoteles ini di ikuti oleh Marcos Tullios Cicero
(106-43) dengan istilah Societis Civilies yaitu sebuah komonitas yang lain,
tema yang dikedepan kan oleh Cicero ini lebih menekankan pada konsep Negara
kota (city state), yakni untuk menggambarkan kerajaan, kota dan bentuk lainya
sebagai kesatuan yang terorgenisasi.
Pada
tahun 1767, wacana masayarakat madani ini dikembangkan oleh Adam Fergoson
dengan mengambil konteks sosio-kultural, Fergoson menekankan mayasrakat madani
pada sebuah visi etis dalam kehidupan bermasyarakat. Pahamnya ini digunakan
untuk mengatisipasi perubahan sosial yang diakibatkan oleh revolusi industri
dan munculnya kapitalisme serta mencoloknya perbedaan antara publik dan
individu.
Kemudian pada tahun 1792, muncul wacana masyarakat madani yang memiliki aksetuansi yang dengan sebelumnya. Konsep ini memunculkan Thomas Paine (1737-1803) yang menggunakan istilah masyrakat madani sebagai kelompok masyarakat yang memiliki posisi secara diametral dengan Negara, bahkan dianggap sebagai antithesis dari Negara, dengan demikian, maka masyrakat madani menurut Thomas Paine adalah ruang dimana warga dapat mengembangkan kepribadian dan memberi peluang bagi pemuasan kepentingannya secara bebas dan tanpa paksaan.
Perkembangan
civic society selanjutnya dikembangkan oleh G.W.F Hegel (1770-1831), Karl Mark
(1818-1883) dan Antonio Gramsci (1891-1837). Wacana masyarakat madani yang
dikembangkan oleh ketiga tokoh ini menekankan kepada masyarakat madani elemen
ideology kelas dominan, pemahaman ini lebih merupakan sebuah reaksi dari model
pemahaman yang dilakukan oleh Paine (yang menganggap masyarakat madani sebagai
bagian terpisahnya dari Negara), menurut Hegel masyarakat madani merupakan
kelompok subordinatif dari Negara, menurut Ryas Rasid erat kaitannya dengan
fenomena masyarakat berjuis Eropa (Burgerlische gesselscaft) yang artinya
pertumbuhannya ditandai dengan perjuangan melepaskan diri dari dominasi Negara.
Sedangakan Karl Marx memahami masyarakat madani sebagai “masyrakat Borjuis” dalam konteks hubungan produksi kapitalis keberadaannya merupakan kendala bagi pembebasan manusia dari penindasan. Menurut pemahaman Gramsci memberikan tekanan pada kekuatan cendikiawan yang merupakan faktor utama dalam proses perubahan sosial dan politik.
2.
PERMASALAHAN
Masyarakat madani yang dibangun oleh Nabi
menjadi tuntutan bagi masyarakat, Nabi membangun masyarakat madani dengan ciri
ciri tersendiri yang menjurus untuk mewujudkan keteladanan bagi masyarakat dan Nabi selalu menegakkan hukum dan keadilan
dengan berbagai cara. Dalam mewujudkan masyarakat madani dibutuhkan orang orang
yang bersifat tulus dan pengawasan pengawasan.
Masyarakat madani memiliki 5 karakteristik dan
juga masyarakat madani telah dijelaskan pada ayat Al Qur’an
Masyarakat madani tidak terbentuk dengan
sendirinya. Dengan kata lain, tentu ada yang membentuk kehidupan bermasyarakat
secara madani tersebut. Dari hal itu, tentunya ada intitusi yang mengkritisasi
kebijakan kebijakan yang ada agar tercipta masyarakat madani. Dari sinilah kita
akan membahas pilar pilar penegak masyarakat madani.
Dalam bermasyarakat, tentu faham demokrasi lebih
sering kita dengar daripada madani. Tentunya antara masyarakat madani dan
demokrasi ada hubungannya. Di sini kita akan membahas hubungan tersebut. Selain
itu juga akan dijelaskan kontribusi masyarakat madani terhadap demokratisasi.
Indonesia adalah negara demokratis. Tentu
perkembangan paham madani sangat perlu agar masyarakat di Indonesia menjadi
masyarakat madani yang sebenarnya. Tentu itu tidak mudah membentuknya. Oleh
karena itu, di sini juga dibahas strategi untuk menciptakan masyarakat madani.
Sumber kemunculan demokrasi adalah manusia. Dalam
demokrasi, yang menjadai pemutus ( al hakim) untuk memberikan penilaian terpuji
dan tercela benda yang digunakan manusia dalam perbuatannya adalah akal. Dengan
demikian jelas bahwa demokrasi adalah buatan manusia dan bahwa pemutus segala
sesuatu adalah akal manusia. Sedangkan Islam sangat bertolak belakang dengan
demokrasi dalam hal ini. Adapun aqidah yang melahirkan ide demokrasi adalah
aqidah pemisahan agama dari kehidupan dan negara (sekularisme).
Mengenai ide yang melandasi demokrasi,
sesungguhnya terdapat dua ide yang pokok. Pertama, kedaulatan di tangan rakyat.
Kedua, rakyat sebagai sumber kekuasaan. Sementara itu Islam mengatakan bahwa
kedaulatan adalah di tangan syara’ , bukan di tangan umat.
Berbeda dengan masyarakat madani yang
mengharuskan adanya kekuatan penteimbang kekuatan negara, bagi Islam konsep
masyarakat adalah sesuatu yang tidak terpecah.
3.
PEMBAHASAN
MASYARAKAT MADANI ZAMAN
NABI
Di kota Madinah-lah, Nabi membangun masyarakat
berperadaban berlandaskan ajaran Islam, masyarakat yang bertaqwa kepada
Ketuhanan Yang Maha Esa. Semangat ketaqwaan yang dalam dimensi vertical untuk
menjamin hidup manusia, agar tidak jatuh hina dan nista.
Ciri mendasar dari masyarakat madani yang
dibangun Nabi Muhammad antara lain :
1. egalitarianisme
2. penghargaan kepada orang berdasarkan prestasi (bukan kesukuan,
keturunan, ras, dan sebagainya)
3. keterbukaan partisipasi seluruh anggota (masyakat aktif0
4. penegakan hukum dan keadilan
5. toleransi dan pluralisme
6. musyawarah
Dalam mewujudkan masyarakat madani dibutuhkan
manusia-manusia yang secara pribadi berpandangan hidup dengan semangat
Ketuhanan, dengan konsekuensi tindakan kebaikan kepada sesama manusia. Untuk
itu, Nabi telah memberikan keteladanan dalam mewujudkan cirri-ciri masyarakat
madani.
Dalam rangka penegakan hukum dan keadilan
misalnya, Nabi tiak membedakan antara orang atas dan orang bawah. Nabi pernah
menegaskan bahwa hancurnya bangsa-bangsa di masa lalu adalah jika orang atas
melakukan kejahatan dibiarkan, tetapi kalau orang bawah melakukan pasti
dihukum. Karena itu, Nabi juga misalnya menegaskan contoh, bahkan seandainya
Fatimah, putri kesayangannya melakukan kejahatan, maka akan dihukumnya sesuai
ketentuan yang berlaku.
Masyarakt madani membutuhkan adanya
pribadi-pribadi yang tulus yang mengikatkan jiwa pada kebaikan bersama. Tetapi,
meskipun demikian komitmen pribadi saja sebenarnya tidak cukup. Mengingat
“itikad baik” bukan perkara yang mudah diawasi dari luar diri. Maka harus
diiringi dengan tindakan nyata yang mewujud dalam bentuk amal saleh.
Tindakan ini harus diterapkan dalam kehidupan kemasyarakatan, dalam tatanan
kehidupan kolektif yang memberi peluang adanya pengawasan. Pengawasan social
adalah konsekuensi langsung itikad baik yang diwujudkan dalam tindakan
kebaikan.
Dalam mewujudkan pengawasan itulah dibutuhkan
keterbukaan dalam masyarakat. Mengingat setiap manusia sebagai mahluk yang
lemah mungkin saja mengalami kekeliruan an kekhilaan, maka dengan keterbukaan
itu, setiap orang mempunyai potensi untuk menyatakan pendapat dan untuk
didengar, sementara dari pihak yang mendengar ada kesediaan untuk mendengar
dengan rendah hati untuk merasa tidak selalu benar, bersedia mendengar pendapat
orang lain untuk diikuti mana yang terbaik.
Masyarakat madani antara lain merupakan
masyarakat demokratis yang terbangun dengan menegakkan musyawarah. Musyawarah
pada hakikatnya adalah interpretasi positif berbagai individu dalam masyarakat
yang saling memberi hak untuk menyatakan pendapat, dan mengakui adanya
kewajiban mendengar pendapat itu. Dalam bahasa lain, musyawarah adalah hubungan
interaktif, untuk saling mengingatkan tentang kebaikan dan kebenaan serta
ketabahan dalam mencari penyelesaian masalah bersama, dalam suasana persamaan
hak dan kewajiban warga masyarakat.
Dalam proses musyawarah itu muncul hubungan
social yang luhur dilandasi toleransi dan pluralisme. Toleransi dan pluralisme
ini tak lain adalah wujud sikap kejiwaan pribadi dan social yang bersedia
melihat diri sendiri tidak selalu benar, meskipun sesuatu yang tidak selalu
benar atas suatu masalah, mungkin berbeda antara pribadi dan kelompok.
Pluralisme dan toleransi ini tak lain merupakan wujud dari “ikatan keadaban”
dalam arti masing-masing pribadi dan kelompok dalam lingkungan yang lebih luas,
memandang yang lain dengan penghargaan, betapapun perbedaan ada, tanpa saling
memaksakan kehendak, pendapat, atau pandangan sendiri.
Karaketeristik masyarakat madani
dimaksudkan untuk menjelaskan dalam merealisasikan wacana masyarakat madani
diperlukan persyaratan-persyaratan yang menjadi nilai universal dalam penegakan
masyarakat madani, karateristik tersebut antara lain:
- FREE PUBLIK SPHERE maksudnya adalah ruang publik yang bebas sebagai sarana dalam mengemukakan pendapat.
- FREE PUBLIK SPHERE maksudnya adalah ruang publik yang bebas sebagai sarana dalam mengemukakan pendapat.
- DEMOKRATIS merupakan satu
entitas yang penegak wacana masyarakat madani, warga Negara memiliki kebebasan
penuh untuk menjalankan aktivitas sehariannya. Jadi Demokratis berarti
masyarakat dapat berlaku santun dalam pola hubungan interaksi dengan masyarakat
sekitarnya dengan tidak mempertimbangkan suku, ras, dan agama.
- TOLERAN merupakan sikap
yang dikembangkan dalam masyarakat madani untuk menunjukkan saling menghargai
dan menghormati aktivitas yang dilakukan oleh orang lain.
- PLURALISME
menurut Nurchalish Madjid adalah pertalian sejati kebhinekaan dalam
ikatan-ikatan keadaaban dan pluralisme adalah juga suatu keharusan bagi
keselamatan umat manusia.
- KEADILAN SOSIAL maksudnya adalah keseimbangan dan pembagian yang professional terhadap hak dan kewajiban setiap warga Negara yang mencakup seluruh aspek kehidupan.
- KEADILAN SOSIAL maksudnya adalah keseimbangan dan pembagian yang professional terhadap hak dan kewajiban setiap warga Negara yang mencakup seluruh aspek kehidupan.
MASYARAKAT
MADANI MENURUT AL-QURAN
“Hai
orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (nya), dan ulil
amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu,
Maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Quran) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu
benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. yang demikian itu lebih
utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya”. (QS. An-nisa: 59)
Yang
dimaksud dengan pilar masyarakat madani adalah institusi-institusi yang menjadi
bagian dari sosial control yang berfungsi mengkritisi kebijakan-kebijakan
penguasa yang diskriminatif serta mampu memperjuangkan aspirasi masyarakat yang
tertindas. Dalam penegakkan masyrakat madani, pilar-pilar tersebut menjadi
persyaratan mutlak bagi terwujudnya kekuatan masyarakat madani, pilar-pilar
tersebut antara lain adalah:
1.
Lembaga Swadaya masyarakat adalah
institusi sosial yang dibentuk oleh swadaya masyrakat yang tugas esensinya
adalah membantu dan memperjuangkan aspirasi dan kepentingan masyarakat yang
tertindas.
2.
pers merupakan institusi yang penting dalam
penegakan masyarakat madani, karena kemungkinannya dapat mengkiritis dan
menjadi bagian dari sosial control yang dapat menganalisa serta mempublikasikan
berbagai kebijakan pemerintah yang berkenaan dengan warga negaranya.
3.
Supremasi Hukum; setiap warga Negara,
baik yang duduk dalam formasi pemerintahan maupun sebagai rakyat, harus tunduk
kepada (aturan) hukum.
4.
Perguruan tinggi; yakni tempat dimana
civitas akademikanya (dosen dan mahasiswa) merupakan bagian dari kekuatan
sosial dan masyarakat madani yang bergerak pada jalur moral Force untuk
menyalurkan aspirasi masyrakat dan mengkritisi berbagai kebijakan-kebijakan
pemerintah, dengan catatan gerakan yang dilancarkan oleh mahasiswa tersebut.
5.
Partai politik merupakan wahana bagi
warga Negara untuk dapat menyalurkan asipirasi politiknya.
Menurut Riswandi
Immawan, perguruan tinggi memiliki tiga peranan dalam mewujudkan masyarakat
madani. Pertama, pemihakan yang tegas pada prinsip egalitarianisme yang menjadi
dasar kehidupan politik yang demokratis, kedua membangun mengembangkan dan
mempublikasikan informasi secara objektif dan tidak manipulatif. Ketiga
melakukan tekanan terhadap ketidakadilan dengan cara santun dan saling
menghormati.Partai politik merupakan wahana bagi warga Negara untuk dapat
menyalurkan asipirasi politiknya dan tempat ekspresi politik warga Negara, maka
partai politik ini menjadi persyaratan bagi tegaknya masyrakat madani.
MASYARAKAT MADANI DAN DEMOKRATISASI
Hubungan
antara masyarakat madani dengan demokrasi, menurut Dawam bagaikan dua sisi mata
uang, yang keduanya bersifat KO-eksistensi. Menurut masyarakat madani merupakan
“rumah” persemian demokrasi, perlembang demokrasinya adalah pemilihan umum yang
bebas dan rahasia. Larry Diamond secara sistematis menyebutkan enam kontribusi
masyrakat madani terhadap proses demokrasil; pertama, ia menyediakan wahana
sumber daya politik, ekonomi, kebudayaan dan moral untuk mengawasi dan menjaga
keseimbangan pejabat Negara. Kedua, pluraisme dalam masyarakat madani, bila
diorganisir akan mejadi dasar yang penting bagi persaingan demokrasi. Ketiga
memperkaya partisipasi politik dan meningkatkan kesadaran kewarganegaraan.
Keempat ikut menjaga stabilitas Negara. Kelima, tempat pimpinan politik dan
keenam, menghalangi dominasi rezim otoriter dan mempercepat runtuhnya rezim.
Untuk
menciptakan masyarakat madani yang kuat dalam konteks pertumbuhan dan
perkembangan demokrasi diperlukan pembentukan Negara secara grandual dengan
suatu masyrakat politik yang demokratis partisipatoris, reflektif dan dewasa
yang mampu menjadi penyeimbang dan control atas kecenderungan eksesif Negara.
Dalam masyrakat madani warga Negara sebagai pemilik kedaulatan dan hak untuk mengontrol
pelaksanaan kekuasaan yang mengatasnamakan rakyat, sehingga setiap individu
dalam masyarakat madani memiliki kesempatan untuk memperkuat kemandirian. Kemandirian
dimaksudkan adalah harus mampu direfleksikan dalam seluruh ruang kehidupan
politik, ekonomi dan budaya, menurut M. Dawan Rahadjo ada beberapa asumsi yang
berkembang. Pertama, demokratisasi bisa berkembang, apabila masyarakat madani
menjadi kuat baik melalui perkembangan dari dalam atau dari diri sendiri.
Kedua, demokratisasi hanya bisa berlangsung apabila peranan Negara dikurangi
atau dibatasi tanpa mengurangi efektivitas dan esensi melalui interaksi.
Ketiga, demokrasi bisa berkembang dengan meningkatkan kemandirian independensi
masyrakat madani dari tekanan dan Negara.
MASYARAKAT
MADANI INDONESIA
Masyarakat
madani jika dipahami secara sepintas merupakan format kehidupan alternative
yang mengedepankan semangat demokrasi dan menjunjung tinggi nilai hak asasi
manusia. Konsep masyarakat madani menjadi alternative pemecahan, dengan
pemberdayaan dan penguatan daya control masyarakat terhadap kebijakan-kebijakan
pemerintah yang akhirnya nanti terwujud kekuatan masyarakat yang mampu
merealisasikan dan menegakkan konsep hidup yang demokratis dan menghargai hak-hak
asasi manusia.
Berkembangnya
masyarakat madani di Indonesia diawali dengan kasus-kasus pelanggaran HAM dan
pengekangan kebebasan berpendapat, berserikat dan kebebasan untuk mengeluarkan
pendapat dimuka umum kemudian dilanjutkan dengan munculnya berbagai
lembaga-lembaga non pemerintah mempunyai kekuatan dan bagian dari sosial
control.Secara esensial Indonesia memang membutuhkan pemberdayaan dan penguatan
masyarakat secara komprehensif agar memiliki wawasan dan kesadaran demokrasi
yang baik serta mampu menjunjung tinggi nilai-nilai hak asasi manusia. Untuk
itu, maka diperlukan pengembangan masyarakat madani dengan menerapkan strategi
sekaligus agar proses pembinaan dan pemberdayaan itu mencapai hasilnya secara
optimal.Menurut Dawan ada tiga strategi yang salah satunya dapat digunakan
sebagai strategi dalam memberdayakan masyrakat madani Indonesia.
1. Strategi
yang lebih mementingkan integrasi nasional dan politik. Strategi ini
berpandangan bahwa sistem demokrasi tidak mungkin berlangsung dalam masyarakat
yang belum memiliki kesadaran berbangsa dan bernegara yang kuat.
2. Strategi yang lebih mengutamakan reformasi
sistem politik demokrasi. Strategi ini berpandangan bahwa untuk membangun
ekonomi.
3. Strategi
yang memilih membangun masyarakat madani sebagai basis yang kuat kearah
demokratisasi.
Fakta
model strategi pemberdayaan masyarakat madani tersebut dipertegas oleh Hakim
bahwa di Era transisi ini harus dipikirkan prioritas-prioritas pemberdayaan
dengan cara memahami target-target group yang paling strategis serta penciptaan
pendekatan-pendekatan yang tepat di dalam proses.
Masyarakat
madani menurut islam sebagaimana pemikir-pemikir islam di antaranya abdul munir
mulkhan, bahtiar effendi, dan dawan rahardjo.”bahwa masyarakat madani menurut
islam adalah masyarakat beradab yang di ikat oleh masyarakat yang beradab dan
yang di ikat oleh bingkai hokum islam, tanpa pelaksanaan hokum islam sulit
untuk mewujudkan masyarakat madani, jika tidak dikatakan mustahil”.
Kemudian
masyarakat madani menurut perundang-undangan ialah “bahwa menurut mereka untuk
terwujudnya masyarakat madani yang taat hokum, berperadaban modern, demokratis,
makmur adil, dan bermoral tinggi, diperlukan pegawai negeri yang merupakan
unsure aparatur Negara yang bertugas abdi masyarakat yang menyelenggarakan
pelayanan secara adil dan merata, menjaga kesatuan bangsa dengan penuh
kesetiaan kepada pancasila dan perundang-undangan”.
ISLAM VERSUS DEMOKRASI
Sumber
kemunculan demokrasi adalah manusia. Dalam demokrasi, yang menjadi pemutus (al
haakim) untuk memberikan penilaian terpuji atau tercelanya benda yang digunakan
manusia dan perbuatan-perbuatannya, adalah akal. Para pencetus demokrasi adalah
para filosof dan pemikir di Eropa, yang muncul tatkala berlangsung pertarungan
sengit antara para kaisar dan raja di Eropa dengan rakyat mereka. Dengan demikian,
jelas bahwa demokrasi adalah buatan manusia dan bahwa pemutus segala sesuatu
adalah akal manusia.
Sedangkan
Islam sangat bertolak belakang dengan demokrasi dalam hal ini. Islam berasal
dari Allah, yang telah diwahyukan-Nya kepada Rasul-Nya Muhammad bin Abdullah
saw. Lihat QS. An-Najm: 3-4, QS. Al Qadr: 1. Yang menjadi pemutus dalam Islam,
yaitu yang memberikan penilaian terpuji dan tercelanya benda dan perbuatan
manusia, adalah Allah SWT. Allah SWT berfirman (yang artinya) :
“Menetapkan
hukum itu hanyalah hak Allah”
(QS. Al An’aam : 57)
“Kemudian
jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah dia kepada
Allah (Al Qur’an) dan Rasul (Sunnahnya)”
(QS. An Nisaa’ : 59)
“Tentang
apapun kamu berselisih, maka putusannya (terserah) kepada Allah” (QS. Asy-Syuraa : 10)
Adapun
aqidah yang melahirkan ide demokrasi, adalah aqidah pemisahan agama dari
kehidupan dan negara (sekularisme). Aqidah ini dibangun di atas prinsip jalan
tengah (kompromi) antara para rohaniwan Kristen–yang diperalat oleh para raja
dan kaisar dan dijadikan tunggangan untuk mengeksploitasi dan menzhalimi
rakyat, menghisap darah mereka atas nama agama, serta menghendaki agar segala
urusan tunduk di bawah peraturan agama - dengan para filosof dan pemikir yang
mengingkari eksistensi agama dan menolak otoritas para rohaniwan.
Aqidah
ini tidak mengingkari eksistensi agama, tetapi hanya menghapuskan perannya
untuk mengatur kehidupan bernegara. Dengan sendirinya konsekuensi aqidah ini
ialah memberikan kewenangan kepada manusia untuk membuat peraturan hidupnya
sendiri.
Aqidah
inilah yang menjadi alasan pemikiran (Qaidah Fikriyah) ide-ide Barat. Dari
aqidah ini lahir peraturan hidupnya dan atas asas dasar aqidah ini Barat
menentukan orientasi pemikirannya dan pandangan hidupnya. Dari aqidah ini pula
lahir ide demokrasi.
Sedangkan
Islam, sangatlah berbeda dengan Barat dalam hal aqidahnya. Islam dibangun di
atas landasan Aqidah Islamiyah, yang mewajibkan pelaksanaan perintah dan
larangan Allah–yakni hukum-hukum syara’ yang lahir dari Aqidah Islamiyah–dalam
seluruh urusan kehidupan dan kenegaraan. Aqidah ini menerangkan bahwa manusia
tidak berhak membuat peraturan hidupnya sendiri. Manusia hanya berkewajiban
menjalani kehidupan menurut peraturan yang ditetapkan Allah SWT untuk manusia.
Aqidah
Islamiyah inilah yang menjadi asas peradaban/kultur dan pandangan hidup Islam.
DEMOKRASI DALAM PANDANGAN ISLAM
Mengenai
ide yang melandasi demokrasi, sesungguhnya terdapat dua ide yang pokok:
Pertama, kedaulatan di tangan rakyat. Kedua, rakyat sebagai sumber kekuasaan.
Demokrasi menetapkan bahwa rakyatlah yang memiliki dan melaksanakan
kehendaknya, bukan para raja dan kaisar. Rakyatlah yang menjalankan kehendaknya
sendiri.
Berdasarkan
prinsip bahwa rakyat adalah pemilik kedaulatan, pemilik dan pelaksana kehendak,
maka rakyat berhak membuat hukum yang merupakan ungkapan dari pelaksanaan
kehendak rakyat dan ungkapan kehendak umum dari mayoritas rakyat. Rakyat
membuat hukum melalui para wakilnya yang mereka pilih untuk membuat hukum
sebagai wakil rakyat.
Rakyat
berhak menetapkan konstitusi, peraturan, dan undang-undang apa pun. Rakyat
berhak pula membatalkan konstitusi, peraturan dan hukum apa pun menurut
pertimbangan mereka berdasarkan kemaslahatan yang ada. Dengan demikian rakyat
berhak mengubah sistem pemerintahan dari kerajaan menjadi republik atau
sebaliknya, sebagaimana rakyat juga berhak mengubah sistem republik presidensil
menjadi republik parlementer atau sebaliknya. Hal ini pernah terjadi misalnya
di Perancis, Italia, Spanyol, Yunani, di mana rakyatnya telah mengubah sistem
pemerintahan yang ada dari kerajaan menjadi republik dan dari republik menjadi
kerajaan.
Demikian
pula rakyat berhak mengubah sistem ekonomi dari kapitalisme menjadi sosialisme
atau sebaliknya. Dan rakyat pun melalui para wakilnya dianggap berhak
menetapkan hukum mengenai bolehnya murtad dari satu agama kepada agama lain,
atau kepada keyakinan yang non-agama (Animisme/paganisme), sebagaimana rakyat
dianggap berhak menetapkan hukum bolehnya zina, homoseksual, serta mencari
nafkah dengan jalan zina dan homoseksual itu.
Berdasarkan
prinsip bahwa rakyat sebagai sumber kekuasaan, maka rakyat dapat memilih
penguasa yang diinginkannya untuk menerapkan peraturan yang dibuat rakyat dan
untuk memutuskan perkara berdasarkan hukum itu. Rakyat juga berhak
memberhentikan penguasa dan menggantikannya dengan penguasa yang lain. Jadi,
rakyatlah yang memiliki kekuasaan, sedang penguasa mengambil kekuasaannya dari
rakyat.
Sementara
itu, Islam menyatakan bahwa kedaulatan adalah di tangan syara’, bukan di tangan
umat. Sebab, Allah SWT saja lah yang layak bertindak sebagai Musyarri’ (pembuat
hukum). Umat secara keseluruhan tidak berhak membuat hukum, walaupun hanya satu
hukum. Kalau sekiranya seluruh umat Islam berkumpul lalu menyepakati bolehnya
riba untuk meningkatkan kondisi perekonomian, atau menyepakati bolehnya
lokalisasi perzinaan dengan dalih agar zina tidak menyebar luas di tengah
masyarakat, atau menyepakati penghapusan kepemilikan individu, atau menyepakati
penghapusan puasa Ramadlan agar dapat meningkatkan produktivitas kerja, atau
menyepakati pengabdosian ide kebebasan individu yang memberikan kebebasan
kepada seorang muslim untuk meyakini aqidah apa saja yang diinginkannya, dan
yang memberikan hak kepadanya untuk mengembangkan hartanya dengan segala cara
meskipun haram, yang memberikan kebebasan berperilaku kepadanya untuk menikmati
hidup sesuka hatinya seperti menenggak khamr dan berzina; maka seluruh
kesepakatan ini tidak ada nilainya sama sekali. Bahkan dalam pandangan Islam
seluruh kesepakatan itu tidak senilai walaupun dengan sebuah sayap nyamuk.
Jika
ada sekelompok kaum muslimin yang menyepakati hal-hal tersebut, maka mereka
wajib diperangi sampai mereka melepaskan diri dari kesepakatan tersebut.
Yang
demikian itu karena kaum muslimin dalam sebuah aktivitas hidup mereka
senantiasa wajib terikat dengan perintah dan larangan Allah. Mereka tidak boleh
melakukan suatu perbuatan yang bertentangan dengan hukum-hukum Islam,
sebagaimana mereka tidak boleh membuat satu hukum pun, dikarenakan memang hanya
Allah saja yang layak bertindak sebagai Musyarri’. Allah SWT berfirman :
“Maka
demi Tuhanmu, mereka (pada hakekatnya) tidak beriman hingga mereka menjadikan
kamu (Muhammad) hakim (pemutus) terhadap perkara yang mereka perselisihkan”
(QS. An Nisaa’ :65) “Menetapkan hukum itu hanyalah hak Allah” (QS. Al
An’aam : 57)
Masih
ada puluhan ayat dan hadits lain seperti QS. An Nisaa’: 60, QS. Al Maidah: 50,
QS. An Nuur: 63, QS. An Nisaa’: 59, QS. Asy-Syuura: 10 dan lain -lain, dengan
pengertian yang qath’i (pasti), yang menegaskan bahwa kedaulatan adalah di
tangan syara’, yakni bahwa Allah saja lah yang menjadi Musyarri’, bahwa manusia
tidak boleh membuat hukum, serta bahwa mereka wajib untuk melaksanakan seluruh
aktivitasnya dalam kehidupan ini sesuai dengan perintah dan larangan Allah.
Islam
telah menetapkan bahwa pelaksanaan perintah dan larangan Allah itu ada di
tangan kaum muslimin, sementara pelaksanaan perintah dan larangan Allah
tersebut membutuhkan suatu kekuasaan untuk melaksanakannya. Oleh karena itu,
Islam menetapkan bahwa kekuasaan itu ada di tangan umat Islam. Artinya, bahwa
umat memiliki hak memilih penguasa, agar penguasa itu dapat menegakkan
pelaksanaan perintah dan larangan Allah atas umat.
Prinsip
ini diambil dari hadits-hadits mengenai bai’at, yang menetapkan adanya hak
mengangkat khalifah di tangan kaum muslimin dengan jalan bai’at untuk
mengamalkan Kitabullah dan Sunnah Rasul-Nya. Rasulullah saw bersabda : “Siapa
saja yang mati sedang di lehernya tidak terdapat bai’at (kepada khalifah),
berarti dia telah mati jahiliyah” (HR. Muslim)
Dari
Ubadah bin Ash Shamit ra, dia mengatakan : “Kami telah membai’at Nabi saw untuk
mendengar dan mentaatinya baik dalam hal yang dibenci maupun yang disukai” (HR
Bukhari).
Di samping itu masih banyak hadits lain yang menerangkan
bahwa umatlah yang mengangkat penguasa dengan jalan bai’at untuk mengamalkan
Kitabullah dan Sunnah Rasul-Nya.
Meskipun
syara’ telah menetapkan bahwa kekuasaan itu ada di tangan umat –yang diwakilkan
kepada seorang khalifah untuk memerintah umat melalui prosesi bai’at– akan
tetapi syara’ tidak memberikan hak kepada umat untuk memberhentikan penguasa,
seperti yang ada dalam sistem demokrasi.
Ketentuan ini didasarkan pada hadits-hadits yang mewajibkan
taat kepada khalifah meskipun dia berbuat zhalim, selama dia tidak
memerintahkan ma’shiat. Dari Ibnu Abbas ra, dia berkata, “Rasulullah saw
bersabda: ‘Siapa saja yang melihat dari pemimpinnya sesuatu yang dia benci,
maka hendaklah dia bersabar. Karena sesungguhnya siapa saja yang memisahkan
diri dari jamaah walau sejengkal lalu mati, maka dia mati jahiliyah.”
Yang mempunyai wewenang memberhentikan khalifah adalah
Mahkamah Mazhalim. Ini dikarenakan bahwa terjadinya suatu kasus yang dapat
menjadi alasan diberhentikannya khalifah, merupakan suatu jenis kezhaliman yang
harus dilenyapkan. Dan kasus itu juga dianggap sebagai kasus yang memerlukan
penetapan (itsbat) yang harus dilakukan di hadapan hakim.
Mengingat Mahkamah Mazhalim merupakan lembaga yang berwenang
memutuskan pelenyapan kezhaliman dalam Daulah Islamiyah, sementara hakimnya
memang berwenang untuk menetapkan terjadinya kezhaliman dan memutuskannya, maka
Mahkamah Mazhalim yang berhak memutuskan apakah kasus kezhaliman di atas telah
terjadi atau tidak. Mahkamah Mazhalim pula yang berhak memutuskan pemberhentian
khalifah.
KONSEP MASYARAKAT DALAM ISLAM
Berbeda dengan masyarakat madani yang mengharuskan adanya
kekuatan penyeimbang kekuasaan negara, bagi Islam konsep masyarakat adalah
suatu yang utuh, tak terpecah. Islam memandang bahwa individu merupakan bagian
yang tak dapat dipisahkan dari jama’ah. Jama’ah tak bisa dipisahkan dari
keberadaan Daulah (negara). Bagai tangan yang merupakan bagian dari tubuh.
Dengan amat indahnya Rasulullah menggambarkan dengan sabdanya :
“Perumpamaan orang-orang yang menegakkan hukum-hukum Allah
dan yang melanggarnya adalah bagaikan kaum yang menumpang sebuah kapal.
Sebagian mereka berada di atas sebagian lainnya berada di bawah. Jika orang
yang berada di bawah membutuhkan air, mereka harus melewati orang yang berada
di atasnya. Lalu mereka berkata: “Andai saja kami lubangi (kapal ini) pada
bagian kami, tentu kami tak akan menyakiti orang yang berada di atas kami.
Tetapi jika yang demikian itu dibiarkan oleh mereka yang berada di atas (padahal
mereka tidak menghendaki) akan binasalah seluruhnya. Dan jika mereka
menghendaki keselamatan –dengan mencegahnya– maka akan selamatlah semuanya”
(HR.Bukhori No 2493 dan 2686).
4.
KESIMPULAN
Masyarakat madani adalah sebuah masyarakat
dimana penegasan mengenai pentingnya nilai-nilai kemanusiaan yang berlandaskan
agama adalah sebagai syarat mutlak dalam perkembangan dan pertumbuhannya.
Sebagai kesatuan social, masyarakat madani merupakan kumpulan manusia yang
secara individual mengejawantahkan perilakunya berdasarkan moralitas keagamaan,
baik dalam proses intraksi antar individu maupun secara kolektif.
Beradasarkan pentingnya moralitas agama itulah,
tampaknya demokrasi bukanlah syarat yang mencukupi untuk membangun masyarakat
madani. Jika masyarakat madani dipahami sebagai syarat demokrasi, maka
terbentuknya institusi-institusi social yang otonom pada gilirannya hanya akan
menjadi malapetaka berupa konflik-konflik social dan politik yang berbahaya,
apabila setiap individu di dalamnya tidak bersedia saling menunjukkan
toleransi, termasuk dalam hubungan antar agama, suku, asosiasi-asosiasi
masyarakat lainnya. Disinilah eksistensi masyarakat madani, karena itu,
perilakunya harus mencerminkan keberadaban. Setiap individu dan kelompok
dituntut saling menghargai perbedaan, tanpa merusak integrasi kehidupan
bernegara.
Kemungkinan
akan adanya kekuatan civic sebagai bagian dari komunitas bangsa ini akan
mengantarkan pada sebuah wacana yang saat ini sedang berkembang, yakni
masyarakat madani. Dalam mendefinisikan terma masyarakat madani ini sangat
bergantung pada kondisi sosio kultural suatu bangsa, karena bagaimanapun konsep
masyarakat madani merupakan bangunan terma terakhir dari sejarah pergulatan
bangsa Eropa Barat.Manurut Aristoteles (384-322) masyarakat madani dipahami
sebagai sistem kenegaraan dengan menggunakan istilah kolonia politik (sebuah
komunitas politik tempat warga dapat terlibat langsung dalam berbagai
percaturan ekonomi politik dan pengambilan keputusan).Karakteristik masyarakat
madani diperlukan persyaratan-persyaratan yang menjadi nilai universal dalam
penegakkan masyarakat madani.
Dan
masyarakat madani juga harus mempunyai pilar-pilar penegak, karena berfungsi
sebagai mengkritisi kebijakan-kebijakan penguasa yang diskriminatif serta mampu
memperjuangkan aspirasi masyarakat yang tertindas.
Hubungan
antara masyarakat madani dengan demokratis menurut Dawam bagaikan dua sisi mata
uang yang keduanya bersifat ko-eksistensi.
Berkembangnya
masyarakat madani di Indonesia diawali dengan kasus-kasus pelanggaran HAM dan
pengekangan kebebasan berpendapat, berserikat, dan kebebasan untuk mengeluarkan
pendapat dimuka umum kemudian dilanjutkan dengan munculnya berbagai
lembaga-lembaga non pemerintah mempunyai kekuatan dan bagian dari sosial
control.
5.
DAFTAR
PUSTAKA
Azyumardi, Azra,
Demokrasi, Hak Asasi Manusia, Dan Msyarakat Madani, Jakarta, Tim ICCE
UIN,Jakarta,2000
No comments:
Post a Comment