Sunday, March 2, 2014

MASYARAKAT MADANI DI INDONESIA

1.   PENDAHULUAN

PENGERTIAN MASYARAKAT MADANI
Kemungkinan akan adanya kekuatan civil sebagai bagian dari komonitas bangsa ini akan mengantarkan pada sebuah wacana yang saat ini sedang berkembang yakni masyarakat madani. Marupakan wacana yang telah mengalami proses yang panjang. Ia muncul bersamaan dengan proses modernisasi, terutama pada saat terjadinya masa transformasi dari masyarakat feodal manuju masyarakat barat modern yang lebih terkenal lagi dengan civil society.
Dalam mendefinisikan tema masyarakat madani sangat bergantung pada kondisi social cultural suatu bangsa, kareana bagai mana pun konsep masyarakat madani merupakan bangunan tema terakhir dari sejarah bangsa Eropa Barat.Sebagai titik tolak, disisi dikemukakan beberapa definisi masyarakat madani:
Pertama; Definisi yang dikemukakan oleh Zbigniew Rew dangan latar belakang kajiannya pada kawasan Eropa Timur dan Uni Sovyet. Ia mengatakan bahwa yang di maksud masyarakat madani merupakan suatu yang berkembang dari sejarah, yang mengandalkan ruang dimana individu dan perkumpulan tempat mereka bergabung bersaing satu sama lain guna mencapai nilai-nilai yang mereka yakini. Maka yang dimaksud dengan masyarakat madani adalah sebuah ruang yang bebas dari pengaruh keluarga dan kekuasaan Negara.
Kedua; oleh Han-Sung-Joo ia mengatakan bahwa masyarakat madani merupakan sebuah kerangka hukum yang melindungi dan menjamin hak-hak dasar individu. Perkumpulan suka rela yang terbatas dari Negara suatu ruang publik yang mampu mengartikulasi isu-isu politik.
Gerakan warga Negara yang mampu mengendalikan diri dan indenpenden, yang secara bersama-sama mengakui norma-norma dan budaya yang menjadi indentitas dan solidaritas yang terbentuk pada akhirnya akan terdapat kelompok inti dalam civil society.Ketiga; oleh Kim Sun Hyuk ia mengatakan bahwa yang dimaksud dengan masyarakat madani adalah suatu satuan yang terdiri dari kelompok-kelompok yang secara mandiri menghimpun dirinya dan gerakan-gerakan dalam msyarakat yang secara relative. Secara global dari ketiga batasan di atas dapat ditarik benang emas, bahwa yang dimaksud dengan masyrakat madani adalah sebuah kelompok atau tatanan masyarakat yang berdiri secara mandiri dihadapan penguasa dan Negara, yang memiliki ruang publik dalam mengemukakan pendapat, adanya lembaga-lembaga yang mandiri yang dapat mengeluarkan aspirasi dan kepentingan publik.
Menurut Aristoteles (384-322) masyarakat madani di pahami sebagai sistem kenegaraan dengan menggunakan istilah kolonia politik ( sebuah komunitas politik tempat warga dapat terlibat dalam berbagai percaturan ekonomi politik dan pengambilan keputusan). Konsepsi Aristoteles ini di ikuti oleh Marcos Tullios Cicero (106-43) dengan istilah Societis Civilies yaitu sebuah komonitas yang lain, tema yang dikedepan kan oleh Cicero ini lebih menekankan pada konsep Negara kota (city state), yakni untuk menggambarkan kerajaan, kota dan bentuk lainya sebagai kesatuan yang terorgenisasi.
Pada tahun 1767, wacana masayarakat madani ini dikembangkan oleh Adam Fergoson dengan mengambil konteks sosio-kultural, Fergoson menekankan mayasrakat madani pada sebuah visi etis dalam kehidupan bermasyarakat. Pahamnya ini digunakan untuk mengatisipasi perubahan sosial yang diakibatkan oleh revolusi industri dan munculnya kapitalisme serta mencoloknya perbedaan antara publik dan individu.

            Kemudian pada tahun 1792, muncul wacana masyarakat madani yang memiliki aksetuansi yang dengan sebelumnya. Konsep ini memunculkan Thomas Paine (1737-1803) yang menggunakan istilah masyrakat madani sebagai kelompok masyarakat yang memiliki posisi secara diametral dengan Negara, bahkan dianggap sebagai antithesis dari Negara, dengan demikian, maka masyrakat madani menurut Thomas Paine adalah ruang dimana warga dapat mengembangkan kepribadian dan memberi peluang bagi pemuasan kepentingannya secara bebas dan tanpa paksaan.
Perkembangan civic society selanjutnya dikembangkan oleh G.W.F Hegel (1770-1831), Karl Mark (1818-1883) dan Antonio Gramsci (1891-1837). Wacana masyarakat madani yang dikembangkan oleh ketiga tokoh ini menekankan kepada masyarakat madani elemen ideology kelas dominan, pemahaman ini lebih merupakan sebuah reaksi dari model pemahaman yang dilakukan oleh Paine (yang menganggap masyarakat madani sebagai bagian terpisahnya dari Negara), menurut Hegel masyarakat madani merupakan kelompok subordinatif dari Negara, menurut Ryas Rasid erat kaitannya dengan fenomena masyarakat berjuis Eropa (Burgerlische gesselscaft) yang artinya pertumbuhannya ditandai dengan perjuangan melepaskan diri dari dominasi Negara.

            Sedangakan Karl Marx memahami masyarakat madani sebagai “masyrakat Borjuis” dalam konteks hubungan produksi kapitalis keberadaannya merupakan kendala bagi pembebasan manusia dari penindasan. Menurut pemahaman Gramsci memberikan tekanan pada kekuatan cendikiawan yang merupakan faktor utama dalam proses perubahan sosial dan politik.



2.   PERMASALAHAN
Masyarakat madani yang dibangun oleh Nabi menjadi tuntutan bagi masyarakat, Nabi membangun masyarakat madani dengan ciri ciri tersendiri yang menjurus untuk mewujudkan keteladanan bagi masyarakat  dan Nabi selalu menegakkan hukum dan keadilan dengan berbagai cara. Dalam mewujudkan masyarakat madani dibutuhkan orang orang yang bersifat tulus dan pengawasan pengawasan.
Masyarakat madani memiliki 5 karakteristik dan juga masyarakat madani telah dijelaskan pada ayat Al Qur’an
Masyarakat madani tidak terbentuk dengan sendirinya. Dengan kata lain, tentu ada yang membentuk kehidupan bermasyarakat secara madani tersebut. Dari hal itu, tentunya ada intitusi yang mengkritisasi kebijakan kebijakan yang ada agar tercipta masyarakat madani. Dari sinilah kita akan membahas pilar pilar penegak masyarakat madani.
Dalam bermasyarakat, tentu faham demokrasi lebih sering kita dengar daripada madani. Tentunya antara masyarakat madani dan demokrasi ada hubungannya. Di sini kita akan membahas hubungan tersebut. Selain itu juga akan dijelaskan kontribusi masyarakat madani terhadap demokratisasi.
Indonesia adalah negara demokratis. Tentu perkembangan paham madani sangat perlu agar masyarakat di Indonesia menjadi masyarakat madani yang sebenarnya. Tentu itu tidak mudah membentuknya. Oleh karena itu, di sini juga dibahas strategi untuk menciptakan masyarakat madani.
Sumber kemunculan demokrasi adalah manusia. Dalam demokrasi, yang menjadai pemutus ( al hakim) untuk memberikan penilaian terpuji dan tercela benda yang digunakan manusia dalam perbuatannya adalah akal. Dengan demikian jelas bahwa demokrasi adalah buatan manusia dan bahwa pemutus segala sesuatu adalah akal manusia. Sedangkan Islam sangat bertolak belakang dengan demokrasi dalam hal ini. Adapun aqidah yang melahirkan ide demokrasi adalah aqidah pemisahan agama dari kehidupan dan negara (sekularisme).
Mengenai ide yang melandasi demokrasi, sesungguhnya terdapat dua ide yang pokok. Pertama, kedaulatan di tangan rakyat. Kedua, rakyat sebagai sumber kekuasaan. Sementara itu Islam mengatakan bahwa kedaulatan adalah di tangan syara’ , bukan di tangan umat.
Berbeda dengan masyarakat madani yang mengharuskan adanya kekuatan penteimbang kekuatan negara, bagi Islam konsep masyarakat adalah sesuatu yang tidak terpecah.



3.   PEMBAHASAN

MASYARAKAT MADANI ZAMAN NABI
Di kota Madinah-lah, Nabi membangun masyarakat berperadaban berlandaskan ajaran Islam, masyarakat yang bertaqwa kepada Ketuhanan Yang Maha Esa. Semangat ketaqwaan yang dalam dimensi vertical untuk menjamin hidup manusia, agar tidak jatuh hina dan nista.
Ciri mendasar dari masyarakat madani yang dibangun Nabi Muhammad antara lain :
1. egalitarianisme
2. penghargaan kepada orang berdasarkan prestasi (bukan kesukuan, keturunan, ras, dan sebagainya)
3. keterbukaan partisipasi seluruh anggota (masyakat aktif0
4. penegakan hukum dan keadilan
5. toleransi dan pluralisme
6. musyawarah
Dalam mewujudkan masyarakat madani dibutuhkan manusia-manusia yang secara pribadi berpandangan hidup dengan semangat Ketuhanan, dengan konsekuensi tindakan kebaikan kepada sesama manusia. Untuk itu, Nabi telah memberikan keteladanan dalam mewujudkan cirri-ciri masyarakat madani.
Dalam rangka penegakan hukum dan keadilan misalnya, Nabi tiak membedakan antara orang atas dan orang bawah. Nabi pernah menegaskan bahwa hancurnya bangsa-bangsa di masa lalu adalah jika orang atas melakukan kejahatan dibiarkan, tetapi kalau orang bawah melakukan pasti dihukum. Karena itu, Nabi juga misalnya menegaskan contoh, bahkan seandainya Fatimah, putri kesayangannya melakukan kejahatan, maka akan dihukumnya sesuai ketentuan yang berlaku.
Masyarakt madani membutuhkan adanya pribadi-pribadi yang tulus yang mengikatkan jiwa pada kebaikan bersama. Tetapi, meskipun demikian komitmen pribadi saja sebenarnya tidak cukup. Mengingat “itikad baik” bukan perkara yang mudah diawasi dari luar diri. Maka harus diiringi dengan tindakan nyata yang mewujud dalam  bentuk amal saleh. Tindakan ini harus diterapkan dalam kehidupan kemasyarakatan, dalam tatanan kehidupan kolektif yang memberi peluang adanya pengawasan. Pengawasan social adalah konsekuensi langsung itikad baik yang diwujudkan dalam tindakan kebaikan.
Dalam mewujudkan pengawasan itulah dibutuhkan keterbukaan dalam masyarakat. Mengingat setiap manusia sebagai mahluk yang lemah mungkin saja mengalami kekeliruan an kekhilaan, maka dengan keterbukaan itu, setiap orang mempunyai potensi untuk menyatakan pendapat dan untuk didengar, sementara dari pihak yang mendengar ada kesediaan untuk mendengar dengan rendah hati untuk merasa tidak selalu benar, bersedia mendengar pendapat orang lain untuk diikuti mana yang terbaik.
Masyarakat madani antara lain merupakan masyarakat demokratis yang terbangun dengan menegakkan musyawarah. Musyawarah pada hakikatnya adalah interpretasi positif berbagai individu dalam masyarakat yang saling memberi hak untuk menyatakan pendapat, dan mengakui adanya kewajiban mendengar pendapat itu. Dalam bahasa lain, musyawarah adalah hubungan interaktif, untuk saling mengingatkan tentang kebaikan dan kebenaan serta ketabahan dalam mencari penyelesaian masalah bersama, dalam suasana persamaan hak dan kewajiban warga masyarakat.
Dalam proses musyawarah itu muncul hubungan social yang luhur dilandasi toleransi dan pluralisme. Toleransi dan pluralisme ini tak lain adalah wujud sikap kejiwaan pribadi dan social yang bersedia melihat diri sendiri tidak selalu benar, meskipun sesuatu yang tidak selalu benar atas suatu masalah, mungkin berbeda antara pribadi dan kelompok. Pluralisme dan toleransi ini tak lain merupakan wujud dari “ikatan keadaban” dalam arti masing-masing pribadi dan kelompok dalam lingkungan yang lebih luas, memandang yang lain dengan penghargaan, betapapun perbedaan ada, tanpa saling memaksakan kehendak, pendapat, atau pandangan sendiri.

Karaketeristik masyarakat madani dimaksudkan untuk menjelaskan dalam merealisasikan wacana masyarakat madani diperlukan persyaratan-persyaratan yang menjadi nilai universal dalam penegakan masyarakat madani, karateristik tersebut antara lain:

-
FREE PUBLIK SPHERE maksudnya adalah ruang publik yang bebas sebagai sarana dalam mengemukakan pendapat.
- DEMOKRATIS merupakan satu entitas yang penegak wacana masyarakat madani, warga Negara memiliki kebebasan penuh untuk menjalankan aktivitas sehariannya. Jadi Demokratis berarti masyarakat dapat berlaku santun dalam pola hubungan interaksi dengan masyarakat sekitarnya dengan tidak mempertimbangkan suku, ras, dan agama.
- TOLERAN merupakan sikap yang dikembangkan dalam masyarakat madani untuk menunjukkan saling menghargai dan menghormati aktivitas yang dilakukan oleh orang lain.
- PLURALISME menurut Nurchalish Madjid adalah pertalian sejati kebhinekaan dalam ikatan-ikatan keadaaban dan pluralisme adalah juga suatu keharusan bagi keselamatan umat manusia.
- KEADILAN SOSIAL maksudnya adalah keseimbangan dan pembagian yang professional terhadap hak dan kewajiban setiap warga Negara yang mencakup seluruh aspek kehidupan.

MASYARAKAT MADANI MENURUT AL-QURAN
“Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (nya), dan ulil amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, Maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Quran) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya”. (QS. An-nisa: 59)
Yang dimaksud dengan pilar masyarakat madani adalah institusi-institusi yang menjadi bagian dari sosial control yang berfungsi mengkritisi kebijakan-kebijakan penguasa yang diskriminatif serta mampu memperjuangkan aspirasi masyarakat yang tertindas. Dalam penegakkan masyrakat madani, pilar-pilar tersebut menjadi persyaratan mutlak bagi terwujudnya kekuatan masyarakat madani, pilar-pilar tersebut antara lain adalah:
1.      Lembaga Swadaya masyarakat adalah institusi sosial yang dibentuk oleh swadaya masyrakat yang tugas esensinya adalah membantu dan memperjuangkan aspirasi dan kepentingan masyarakat yang tertindas.
2.       pers merupakan institusi yang penting dalam penegakan masyarakat madani, karena kemungkinannya dapat mengkiritis dan menjadi bagian dari sosial control yang dapat menganalisa serta mempublikasikan berbagai kebijakan pemerintah yang berkenaan dengan warga negaranya.
3.      Supremasi Hukum; setiap warga Negara, baik yang duduk dalam formasi pemerintahan maupun sebagai rakyat, harus tunduk kepada (aturan) hukum.
4.      Perguruan tinggi; yakni tempat dimana civitas akademikanya (dosen dan mahasiswa) merupakan bagian dari kekuatan sosial dan masyarakat madani yang bergerak pada jalur moral Force untuk menyalurkan aspirasi masyrakat dan mengkritisi berbagai kebijakan-kebijakan pemerintah, dengan catatan gerakan yang dilancarkan oleh mahasiswa tersebut.
5.      Partai politik merupakan wahana bagi warga Negara untuk dapat menyalurkan asipirasi politiknya.
Menurut Riswandi Immawan, perguruan tinggi memiliki tiga peranan dalam mewujudkan masyarakat madani. Pertama, pemihakan yang tegas pada prinsip egalitarianisme yang menjadi dasar kehidupan politik yang demokratis, kedua membangun mengembangkan dan mempublikasikan informasi secara objektif dan tidak manipulatif. Ketiga melakukan tekanan terhadap ketidakadilan dengan cara santun dan saling menghormati.Partai politik merupakan wahana bagi warga Negara untuk dapat menyalurkan asipirasi politiknya dan tempat ekspresi politik warga Negara, maka partai politik ini menjadi persyaratan bagi tegaknya masyrakat madani.

MASYARAKAT MADANI DAN DEMOKRATISASI
Hubungan antara masyarakat madani dengan demokrasi, menurut Dawam bagaikan dua sisi mata uang, yang keduanya bersifat KO-eksistensi. Menurut masyarakat madani merupakan “rumah” persemian demokrasi, perlembang demokrasinya adalah pemilihan umum yang bebas dan rahasia. Larry Diamond secara sistematis menyebutkan enam kontribusi masyrakat madani terhadap proses demokrasil; pertama, ia menyediakan wahana sumber daya politik, ekonomi, kebudayaan dan moral untuk mengawasi dan menjaga keseimbangan pejabat Negara. Kedua, pluraisme dalam masyarakat madani, bila diorganisir akan mejadi dasar yang penting bagi persaingan demokrasi. Ketiga memperkaya partisipasi politik dan meningkatkan kesadaran kewarganegaraan. Keempat ikut menjaga stabilitas Negara. Kelima, tempat pimpinan politik dan keenam, menghalangi dominasi rezim otoriter dan mempercepat runtuhnya rezim.
Untuk menciptakan masyarakat madani yang kuat dalam konteks pertumbuhan dan perkembangan demokrasi diperlukan pembentukan Negara secara grandual dengan suatu masyrakat politik yang demokratis partisipatoris, reflektif dan dewasa yang mampu menjadi penyeimbang dan control atas kecenderungan eksesif Negara. Dalam masyrakat madani warga Negara sebagai pemilik kedaulatan dan hak untuk mengontrol pelaksanaan kekuasaan yang mengatasnamakan rakyat, sehingga setiap individu dalam masyarakat madani memiliki kesempatan untuk memperkuat kemandirian. Kemandirian dimaksudkan adalah harus mampu direfleksikan dalam seluruh ruang kehidupan politik, ekonomi dan budaya, menurut M. Dawan Rahadjo ada beberapa asumsi yang berkembang. Pertama, demokratisasi bisa berkembang, apabila masyarakat madani menjadi kuat baik melalui perkembangan dari dalam atau dari diri sendiri. Kedua, demokratisasi hanya bisa berlangsung apabila peranan Negara dikurangi atau dibatasi tanpa mengurangi efektivitas dan esensi melalui interaksi. Ketiga, demokrasi bisa berkembang dengan meningkatkan kemandirian independensi masyrakat madani dari tekanan dan Negara.

MASYARAKAT MADANI INDONESIA
Masyarakat madani jika dipahami secara sepintas merupakan format kehidupan alternative yang mengedepankan semangat demokrasi dan menjunjung tinggi nilai hak asasi manusia. Konsep masyarakat madani menjadi alternative pemecahan, dengan pemberdayaan dan penguatan daya control masyarakat terhadap kebijakan-kebijakan pemerintah yang akhirnya nanti terwujud kekuatan masyarakat yang mampu merealisasikan dan menegakkan konsep hidup yang demokratis dan menghargai hak-hak asasi manusia.
Berkembangnya masyarakat madani di Indonesia diawali dengan kasus-kasus pelanggaran HAM dan pengekangan kebebasan berpendapat, berserikat dan kebebasan untuk mengeluarkan pendapat dimuka umum kemudian dilanjutkan dengan munculnya berbagai lembaga-lembaga non pemerintah mempunyai kekuatan dan bagian dari sosial control.Secara esensial Indonesia memang membutuhkan pemberdayaan dan penguatan masyarakat secara komprehensif agar memiliki wawasan dan kesadaran demokrasi yang baik serta mampu menjunjung tinggi nilai-nilai hak asasi manusia. Untuk itu, maka diperlukan pengembangan masyarakat madani dengan menerapkan strategi sekaligus agar proses pembinaan dan pemberdayaan itu mencapai hasilnya secara optimal.Menurut Dawan ada tiga strategi yang salah satunya dapat digunakan sebagai strategi dalam memberdayakan masyrakat madani Indonesia.
1.      Strategi yang lebih mementingkan integrasi nasional dan politik. Strategi ini berpandangan bahwa sistem demokrasi tidak mungkin berlangsung dalam masyarakat yang belum memiliki kesadaran berbangsa dan bernegara yang kuat.
2.       Strategi yang lebih mengutamakan reformasi sistem politik demokrasi. Strategi ini berpandangan bahwa untuk membangun ekonomi.
3.      Strategi yang memilih membangun masyarakat madani sebagai basis yang kuat kearah demokratisasi.
Fakta model strategi pemberdayaan masyarakat madani tersebut dipertegas oleh Hakim bahwa di Era transisi ini harus dipikirkan prioritas-prioritas pemberdayaan dengan cara memahami target-target group yang paling strategis serta penciptaan pendekatan-pendekatan yang tepat di dalam proses.
Masyarakat madani menurut islam sebagaimana pemikir-pemikir islam di antaranya abdul munir mulkhan, bahtiar effendi, dan dawan rahardjo.”bahwa masyarakat madani menurut islam adalah masyarakat beradab yang di ikat oleh masyarakat yang beradab dan yang di ikat oleh bingkai hokum islam, tanpa pelaksanaan hokum islam sulit untuk mewujudkan masyarakat madani, jika tidak dikatakan mustahil”.
Kemudian masyarakat madani menurut perundang-undangan ialah “bahwa menurut mereka untuk terwujudnya masyarakat madani yang taat hokum, berperadaban modern, demokratis, makmur adil, dan bermoral tinggi, diperlukan pegawai negeri yang merupakan unsure aparatur Negara yang bertugas abdi masyarakat yang menyelenggarakan pelayanan secara adil dan merata, menjaga kesatuan bangsa dengan penuh kesetiaan kepada pancasila dan perundang-undangan”.

ISLAM VERSUS DEMOKRASI
            Sumber kemunculan demokrasi adalah manusia. Dalam demokrasi, yang menjadi pemutus (al haakim) untuk memberikan penilaian terpuji atau tercelanya benda yang digunakan manusia dan perbuatan-perbuatannya, adalah akal. Para pencetus demokrasi adalah para filosof dan pemikir di Eropa, yang muncul tatkala berlangsung pertarungan sengit antara para kaisar dan raja di Eropa dengan rakyat mereka. Dengan demikian, jelas bahwa demokrasi adalah buatan manusia dan bahwa pemutus segala sesuatu adalah akal manusia.
Sedangkan Islam sangat bertolak belakang dengan demokrasi dalam hal ini. Islam berasal dari Allah, yang telah diwahyukan-Nya kepada Rasul-Nya Muhammad bin Abdullah saw. Lihat QS. An-Najm: 3-4, QS. Al Qadr: 1. Yang menjadi pemutus dalam Islam, yaitu yang memberikan penilaian terpuji dan tercelanya benda dan perbuatan manusia, adalah Allah SWT. Allah SWT berfirman (yang artinya) :
“Menetapkan hukum itu hanyalah hak Allah” (QS. Al An’aam : 57)
“Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah dia kepada Allah (Al Qur’an) dan Rasul (Sunnahnya)” (QS. An Nisaa’ : 59)
“Tentang apapun kamu berselisih, maka putusannya (terserah) kepada Allah” (QS. Asy-Syuraa : 10)
            Adapun aqidah yang melahirkan ide demokrasi, adalah aqidah pemisahan agama dari kehidupan dan negara (sekularisme). Aqidah ini dibangun di atas prinsip jalan tengah (kompromi) antara para rohaniwan Kristen–yang diperalat oleh para raja dan kaisar dan dijadikan tunggangan untuk mengeksploitasi dan menzhalimi rakyat, menghisap darah mereka atas nama agama, serta menghendaki agar segala urusan tunduk di bawah peraturan agama - dengan para filosof dan pemikir yang mengingkari eksistensi agama dan menolak otoritas para rohaniwan.
Aqidah ini tidak mengingkari eksistensi agama, tetapi hanya menghapuskan perannya untuk mengatur kehidupan bernegara. Dengan sendirinya konsekuensi aqidah ini ialah memberikan kewenangan kepada manusia untuk membuat peraturan hidupnya sendiri.
Aqidah inilah yang menjadi alasan pemikiran (Qaidah Fikriyah) ide-ide Barat. Dari aqidah ini lahir peraturan hidupnya dan atas asas dasar aqidah ini Barat menentukan orientasi pemikirannya dan pandangan hidupnya. Dari aqidah ini pula lahir ide demokrasi.
            Sedangkan Islam, sangatlah berbeda dengan Barat dalam hal aqidahnya. Islam dibangun di atas landasan Aqidah Islamiyah, yang mewajibkan pelaksanaan perintah dan larangan Allah–yakni hukum-hukum syara’ yang lahir dari Aqidah Islamiyah–dalam seluruh urusan kehidupan dan kenegaraan. Aqidah ini menerangkan bahwa manusia tidak berhak membuat peraturan hidupnya sendiri. Manusia hanya berkewajiban menjalani kehidupan menurut peraturan yang ditetapkan Allah SWT untuk manusia.
Aqidah Islamiyah inilah yang menjadi asas peradaban/kultur dan pandangan hidup Islam.

DEMOKRASI DALAM PANDANGAN ISLAM
            Mengenai ide yang melandasi demokrasi, sesungguhnya terdapat dua ide yang pokok: Pertama, kedaulatan di tangan rakyat. Kedua, rakyat sebagai sumber kekuasaan. Demokrasi menetapkan bahwa rakyatlah yang memiliki dan melaksanakan kehendaknya, bukan para raja dan kaisar. Rakyatlah yang menjalankan kehendaknya sendiri.
            Berdasarkan prinsip bahwa rakyat adalah pemilik kedaulatan, pemilik dan pelaksana kehendak, maka rakyat berhak membuat hukum yang merupakan ungkapan dari pelaksanaan kehendak rakyat dan ungkapan kehendak umum dari mayoritas rakyat. Rakyat membuat hukum melalui para wakilnya yang mereka pilih untuk membuat hukum sebagai wakil rakyat.
            Rakyat berhak menetapkan konstitusi, peraturan, dan undang-undang apa pun. Rakyat berhak pula membatalkan konstitusi, peraturan dan hukum apa pun menurut pertimbangan mereka berdasarkan kemaslahatan yang ada. Dengan demikian rakyat berhak mengubah sistem pemerintahan dari kerajaan menjadi republik atau sebaliknya, sebagaimana rakyat juga berhak mengubah sistem republik presidensil menjadi republik parlementer atau sebaliknya. Hal ini pernah terjadi misalnya di Perancis, Italia, Spanyol, Yunani, di mana rakyatnya telah mengubah sistem pemerintahan yang ada dari kerajaan menjadi republik dan dari republik menjadi kerajaan.
            Demikian pula rakyat berhak mengubah sistem ekonomi dari kapitalisme menjadi sosialisme atau sebaliknya. Dan rakyat pun melalui para wakilnya dianggap berhak menetapkan hukum mengenai bolehnya murtad dari satu agama kepada agama lain, atau kepada keyakinan yang non-agama (Animisme/paganisme), sebagaimana rakyat dianggap berhak menetapkan hukum bolehnya zina, homoseksual, serta mencari nafkah dengan jalan zina dan homoseksual itu.
            Berdasarkan prinsip bahwa rakyat sebagai sumber kekuasaan, maka rakyat dapat memilih penguasa yang diinginkannya untuk menerapkan peraturan yang dibuat rakyat dan untuk memutuskan perkara berdasarkan hukum itu. Rakyat juga berhak memberhentikan penguasa dan menggantikannya dengan penguasa yang lain. Jadi, rakyatlah yang memiliki kekuasaan, sedang penguasa mengambil kekuasaannya dari rakyat.
            Sementara itu, Islam menyatakan bahwa kedaulatan adalah di tangan syara’, bukan di tangan umat. Sebab, Allah SWT saja lah yang layak bertindak sebagai Musyarri’ (pembuat hukum). Umat secara keseluruhan tidak berhak membuat hukum, walaupun hanya satu hukum. Kalau sekiranya seluruh umat Islam berkumpul lalu menyepakati bolehnya riba untuk meningkatkan kondisi perekonomian, atau menyepakati bolehnya lokalisasi perzinaan dengan dalih agar zina tidak menyebar luas di tengah masyarakat, atau menyepakati penghapusan kepemilikan individu, atau menyepakati penghapusan puasa Ramadlan agar dapat meningkatkan produktivitas kerja, atau menyepakati pengabdosian ide kebebasan individu yang memberikan kebebasan kepada seorang muslim untuk meyakini aqidah apa saja yang diinginkannya, dan yang memberikan hak kepadanya untuk mengembangkan hartanya dengan segala cara meskipun haram, yang memberikan kebebasan berperilaku kepadanya untuk menikmati hidup sesuka hatinya seperti menenggak khamr dan berzina; maka seluruh kesepakatan ini tidak ada nilainya sama sekali. Bahkan dalam pandangan Islam seluruh kesepakatan itu tidak senilai walaupun dengan sebuah sayap nyamuk.
            Jika ada sekelompok kaum muslimin yang menyepakati hal-hal tersebut, maka mereka wajib diperangi sampai mereka melepaskan diri dari kesepakatan tersebut.
            Yang demikian itu karena kaum muslimin dalam sebuah aktivitas hidup mereka senantiasa wajib terikat dengan perintah dan larangan Allah. Mereka tidak boleh melakukan suatu perbuatan yang bertentangan dengan hukum-hukum Islam, sebagaimana mereka tidak boleh membuat satu hukum pun, dikarenakan memang hanya Allah saja yang layak bertindak sebagai Musyarri’. Allah SWT berfirman :
Maka demi Tuhanmu, mereka (pada hakekatnya) tidak beriman hingga mereka menjadikan kamu (Muhammad) hakim (pemutus) terhadap perkara yang mereka perselisihkan” (QS. An Nisaa’ :65) “Menetapkan hukum itu hanyalah hak Allah” (QS. Al An’aam : 57)
            Masih ada puluhan ayat dan hadits lain seperti QS. An Nisaa’: 60, QS. Al Maidah: 50, QS. An Nuur: 63, QS. An Nisaa’: 59, QS. Asy-Syuura: 10 dan lain -lain, dengan pengertian yang qath’i (pasti), yang menegaskan bahwa kedaulatan adalah di tangan syara’, yakni bahwa Allah saja lah yang menjadi Musyarri’, bahwa manusia tidak boleh membuat hukum, serta bahwa mereka wajib untuk melaksanakan seluruh aktivitasnya dalam kehidupan ini sesuai dengan perintah dan larangan Allah.
            Islam telah menetapkan bahwa pelaksanaan perintah dan larangan Allah itu ada di tangan kaum muslimin, sementara pelaksanaan perintah dan larangan Allah tersebut membutuhkan suatu kekuasaan untuk melaksanakannya. Oleh karena itu, Islam menetapkan bahwa kekuasaan itu ada di tangan umat Islam. Artinya, bahwa umat memiliki hak memilih penguasa, agar penguasa itu dapat menegakkan pelaksanaan perintah dan larangan Allah atas umat.
            Prinsip ini diambil dari hadits-hadits mengenai bai’at, yang menetapkan adanya hak mengangkat khalifah di tangan kaum muslimin dengan jalan bai’at untuk mengamalkan Kitabullah dan Sunnah Rasul-Nya. Rasulullah saw bersabda : “Siapa saja yang mati sedang di lehernya tidak terdapat bai’at (kepada khalifah), berarti dia telah mati jahiliyah” (HR. Muslim)
            Dari Ubadah bin Ash Shamit ra, dia mengatakan : “Kami telah membai’at Nabi saw untuk mendengar dan mentaatinya baik dalam hal yang dibenci maupun yang disukai” (HR Bukhari).
Di samping itu masih banyak hadits lain yang menerangkan bahwa umatlah yang mengangkat penguasa dengan jalan bai’at untuk mengamalkan Kitabullah dan Sunnah Rasul-Nya.
            Meskipun syara’ telah menetapkan bahwa kekuasaan itu ada di tangan umat –yang diwakilkan kepada seorang khalifah untuk memerintah umat melalui prosesi bai’at– akan tetapi syara’ tidak memberikan hak kepada umat untuk memberhentikan penguasa, seperti yang ada dalam sistem demokrasi.
Ketentuan ini didasarkan pada hadits-hadits yang mewajibkan taat kepada khalifah meskipun dia berbuat zhalim, selama dia tidak memerintahkan ma’shiat. Dari Ibnu Abbas ra, dia berkata, “Rasulullah saw bersabda: ‘Siapa saja yang melihat dari pemimpinnya sesuatu yang dia benci, maka hendaklah dia bersabar. Karena sesungguhnya siapa saja yang memisahkan diri dari jamaah walau sejengkal lalu mati, maka dia mati jahiliyah.”
Yang mempunyai wewenang memberhentikan khalifah adalah Mahkamah Mazhalim. Ini dikarenakan bahwa terjadinya suatu kasus yang dapat menjadi alasan diberhentikannya khalifah, merupakan suatu jenis kezhaliman yang harus dilenyapkan. Dan kasus itu juga dianggap sebagai kasus yang memerlukan penetapan (itsbat) yang harus dilakukan di hadapan hakim.
Mengingat Mahkamah Mazhalim merupakan lembaga yang berwenang memutuskan pelenyapan kezhaliman dalam Daulah Islamiyah, sementara hakimnya memang berwenang untuk menetapkan terjadinya kezhaliman dan memutuskannya, maka Mahkamah Mazhalim yang berhak memutuskan apakah kasus kezhaliman di atas telah terjadi atau tidak. Mahkamah Mazhalim pula yang berhak memutuskan pemberhentian khalifah.

KONSEP MASYARAKAT DALAM ISLAM
Berbeda dengan masyarakat madani yang mengharuskan adanya kekuatan penyeimbang kekuasaan negara, bagi Islam konsep masyarakat adalah suatu yang utuh, tak terpecah. Islam memandang bahwa individu merupakan bagian yang tak dapat dipisahkan dari jama’ah. Jama’ah tak bisa dipisahkan dari keberadaan Daulah (negara). Bagai tangan yang merupakan bagian dari tubuh. Dengan amat indahnya Rasulullah menggambarkan dengan sabdanya :
“Perumpamaan orang-orang yang menegakkan hukum-hukum Allah dan yang melanggarnya adalah bagaikan kaum yang menumpang sebuah kapal. Sebagian mereka berada di atas sebagian lainnya berada di bawah. Jika orang yang berada di bawah membutuhkan air, mereka harus melewati orang yang berada di atasnya. Lalu mereka berkata: “Andai saja kami lubangi (kapal ini) pada bagian kami, tentu kami tak akan menyakiti orang yang berada di atas kami. Tetapi jika yang demikian itu dibiarkan oleh mereka yang berada di atas (padahal mereka tidak menghendaki) akan binasalah seluruhnya. Dan jika mereka menghendaki keselamatan –dengan mencegahnya– maka akan selamatlah semuanya” (HR.Bukhori No 2493 dan 2686).



4.   KESIMPULAN
Masyarakat madani adalah sebuah masyarakat dimana penegasan mengenai pentingnya nilai-nilai kemanusiaan yang berlandaskan agama adalah sebagai syarat mutlak dalam perkembangan dan pertumbuhannya. Sebagai kesatuan social, masyarakat madani merupakan kumpulan manusia yang secara individual mengejawantahkan perilakunya berdasarkan moralitas keagamaan, baik dalam proses intraksi antar individu maupun secara kolektif.
Beradasarkan pentingnya moralitas agama itulah, tampaknya demokrasi bukanlah syarat yang mencukupi untuk membangun masyarakat madani. Jika masyarakat madani dipahami sebagai syarat demokrasi, maka terbentuknya institusi-institusi social yang otonom pada gilirannya hanya akan menjadi malapetaka berupa konflik-konflik social dan politik yang berbahaya, apabila setiap individu di dalamnya tidak bersedia saling menunjukkan toleransi, termasuk dalam hubungan antar agama, suku, asosiasi-asosiasi masyarakat lainnya. Disinilah eksistensi masyarakat madani, karena itu, perilakunya harus mencerminkan keberadaban. Setiap individu dan kelompok dituntut saling menghargai perbedaan, tanpa merusak integrasi kehidupan bernegara.
            Kemungkinan akan adanya kekuatan civic sebagai bagian dari komunitas bangsa ini akan mengantarkan pada sebuah wacana yang saat ini sedang berkembang, yakni masyarakat madani. Dalam mendefinisikan terma masyarakat madani ini sangat bergantung pada kondisi sosio kultural suatu bangsa, karena bagaimanapun konsep masyarakat madani merupakan bangunan terma terakhir dari sejarah pergulatan bangsa Eropa Barat.Manurut Aristoteles (384-322) masyarakat madani dipahami sebagai sistem kenegaraan dengan menggunakan istilah kolonia politik (sebuah komunitas politik tempat warga dapat terlibat langsung dalam berbagai percaturan ekonomi politik dan pengambilan keputusan).Karakteristik masyarakat madani diperlukan persyaratan-persyaratan yang menjadi nilai universal dalam penegakkan masyarakat madani.
Dan masyarakat madani juga harus mempunyai pilar-pilar penegak, karena berfungsi sebagai mengkritisi kebijakan-kebijakan penguasa yang diskriminatif serta mampu memperjuangkan aspirasi masyarakat yang tertindas.
Hubungan antara masyarakat madani dengan demokratis menurut Dawam bagaikan dua sisi mata uang yang keduanya bersifat ko-eksistensi.
Berkembangnya masyarakat madani di Indonesia diawali dengan kasus-kasus pelanggaran HAM dan pengekangan kebebasan berpendapat, berserikat, dan kebebasan untuk mengeluarkan pendapat dimuka umum kemudian dilanjutkan dengan munculnya berbagai lembaga-lembaga non pemerintah mempunyai kekuatan dan bagian dari sosial control.




5.   DAFTAR PUSTAKA

Azyumardi, Azra, Demokrasi, Hak Asasi Manusia, Dan Msyarakat Madani, Jakarta, Tim ICCE UIN,Jakarta,2000

No comments:

Post a Comment